MATERI X BAB XII
KESEHATAN MENTAL DALAM LINGKUNGAN KELUARGA
Disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Mental
Dosen Pengampu: Siti Utari, Dra.,
M.Kes
Disusun oleh kelompok X :
Kelas : BK A-3 / 2011
1.
Imam
Fahli (115000103)
2.
Iltizamah (115000116)
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
2015
KATA
PENGANTAR
Kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Sehingga makalah ini telah
dapat kami susun dalam rangka mengikuti mata kuliah “Kesehatan Mental”.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW, nabi yang telah diutus untuk membawa rahmat kasih
sayang bagi semesta alam dan sebagai penerang jalan manusia dari alam jahiliyah
menuju alam yang diterangi oleh ilmu pengetahuan.
Kelompok kami menyadari sepenuhnya, tanpa
bantuan dan partisipasi dari semua pihak, baik moril maupun materil, kelompok
ini tidak mungkin dapat menyelesaikan dengan baik. Karena itu, sudah sepatutnya
kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu “Siti Utari, Dra., M.Kes”. Yang telah membimbing kami.
Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Dan dengan
segala kerendahan hati kami mengharap adanya kritik dan saran supaya menjadikan
kami lebih instropeksi diri lagi dan supaya kedepan kami dapat membuat makalah
yang lebih baik lagi.
Surabaya, Maret 2015
Penyusun
BAB XII
KESEHATAN MENTAL
DALAM LINGKUNGAN KELUARGA
1.
Pengaruh kebiasaan, sikap hidup, dan filsafat hidup keluarga.
2.
Struktur masyarakat kaya miskin dan ketidaksehatan mental.
3.
Ayah ibu yang abnormal dan dampak negatifnya.
4.
Peranan keluarga dalam memupuk kesehatan mental.
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang
memberikan fundasi primer bagi perkembangan anak, juga memberikan pengaruh yang
menentukan bagi pembentukan watak dan kepribadian anak, yaitu memberikan
stempel yang tidak bisa dihapuskan bagi kepribadian anak. Maka baik-buruknya
keluarga ini memberikan dampak yang positif atau negatif pada pertumbuhan anak
menuju kepada kedewasaannya.
1. PENGARUH
KEBIASAAN, SIKAP HIDUP, DAN FILSAFAT HIDUP KELUARGA.
Pola tingkah laku, fikiran, dan sugesti ayah ibu
dapat mencetak pola yang hampir sama pada anggota-anggota keluarga lainnya.
Oleh karena itu tradisi, kebiasaan sehari-hari, sikap hidup, cara berfikir, dan
filsafat hidup keluarga itu sangat besar sekali pengaruhnya dalam proses
membentuk tingkah laku dan sikap anggota keluarga, terutama anak-anak. Sebab
tingkah laku orang tua itu mudah sekali menular kepada anak-anak puber dan
adolesens yang jiwanya belum stabil, dan tengah mengalami banyak gejolak batin.
Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga, jelas
memainkan peranan penting sekali dalam membentuk kepribadian anak menuju pada
keseimbangan batin dan kesehatan mental atau justru membuat mental anak-anak
yang masih muda in jadi tidak waras.
Sebabnya
ialah antara lain sebagai berikut:
1) Karena ayah dan ibu masing-masinng terlalu pusing
mengurusi permasalahan dan konflik-konflik sendiri yang berlarut-larut, maka
anak-anak kurang terurus, tidak mendapatkan perhatian (pengabaian edukatif).
2) Kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis anak-anak
menjadi tidak terpenuhi. Mereka menjadi sangat kecewa dan merasa diabaikan (ada pengabaian psikofisik).
3) Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik
dan mental yang sangat diperlukan bagi hidup susila/etis, tidak mengenal
tanggung jawab dan disiplin (pengabaian
moril).
Sebagai akibat dari ketiga jenis pengabaian tersebut
diatas, anak sering menjadi risau, bingung, merasa tersudut atau ditinggalkan.
Di kemudian hari anak-anak ini mencari kompensasi bagi kerisauan hatinya itu di luar lingkungan keluarga. Lalu masuk
satu gang immoril atau kumpulan anak-anak kriminil, dan menderita macam-macam
gangguan mental.
Anak-anak yang kurang
mendapatkan perhatian dan kasih-sayang dari orang tua itu selalu merasa
tidak aman, dan merasa kehilangan tempat berpijak atau tempat berlindung. Di
kemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi
kompensatoris berbentuk dendam dan sikap bermusuh terhadap dunia luar.
Anak-anak ini mulai “menghilang” dari rumah, lebih suka bergentayangan di luar
lingkungan keluarga sendiri.
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang sedikit sekali atau tanpa mendapatkan supervisi/pengawasan dan latihan
disiplin yang teratur, jelas tidak akan sanggup menginternalisasikan dalam
pribadi sendiri norma-norma hidup moral dan susila. Bahkan banyak dari mereka
menjadi kebal terhadap nilai kesusilaan (jadi a-susila atau immoril),
sebaliknya mereka menjadi lebih peka terhadap pengaruh-pengaruh jahat dari
luar. Sehingga untuk selama-lamanya anak-anak muda dan orang dewasa macam itu
tidak akan pernah mampu mengembangkan disiplin diri dan pengendalian diri.
2. STRUKTUR
MASYARAKAT KAYA MISKIN DAN KETIDAKSEHATAN MENTAL.
Di kota-kota besar terdapat perbedaan distribusi
ekonomis dan distribusi ekologis dari orang-orang yang besar dari klas-klas
sosial yang berbeda-beda. Secara otomatis dalam masyarakat tersebut terdapat banyak
kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin. Tidak semua kelompok
sosial dalam situasi sedemikian mendapatkan kesempatan yang sama untuk menapak
jalan masuk menuju ke arah kekuasaan-kekayaan dan privilige-privilige ke enakan
hidup sehari-hari.
Anak-anak yang neurotik (sering kali juga delinkuen
dan neurotik sekaligus) banyak yang berasal dari keluarga klas menengah dengan
tingkat ekonomi menengah dan tinggi , mereka ada di tengah lingkungan familial
yang konvensional dan cukup baik secara sosial-ekonomis. Dalam suasana keluarga
yang makmur dan sejahtera itu biasanya mereka hidup bermanja-manja dan
bersantai-santai. Namun pada umunya keluarga mereka mengalami konflik-konflik
hebat, juga dalam keadaan krisis dan frustasi berat. Oleh kondisi keluarga yang
berantakan itu, anak-anak mudanya ada yang menggunakan obat-obat peransang dan
minum-minuman keras. Sebabnya adalah sebagai berikut:
Pertama, kebiasaan tersebut dipakai untuk “menghilangkan
kejemuan dan kejenuhan” dalam iklim sejahtera yang serba kosong yaitu hampa
secara jiwani.
Kedua, untuk melupakan dan menghilangkan macam-macam
konflik batin sendiri.
Ketiga, untuk memberikan kegairahan serta “keberanian
hidup” yang semu.
Kebiasaan-kebiasaan buruk tadi di samping
memunculkan ketidaksehatan mental, pasti juga memunculkan kebiasaan-kebiasaan
delinkuen. Jadi mereka itu delinkuen sekaligus juga neorotik.
Tingkah laku para remaja yang neurotik dan delinkuen itu jelas merupakan ekspresi dari
konflik-konflik batin sendiri yang belum terselesaikan. Maka perilaku tersebut
dijadikan alat pelepas bagi rasa-rasa ketakutan, kecemasan, kekecewaan.
Terlebih-lebih oleh mereka yang memiliki ego
yang lemah karena perubahan tingkah laku mereka itu berlangsung atas dasar konflik-konflik jiwani yang serius atau mendalam
sekali, maka pada umumnya mereka akan terus mengembangkan tingkah laku yang
delinkuen-neurotik itu sampai usia dewasa dan usia tua.
Selanjutnya, anak-anak psikopatik – yang kemudian hari
berkembang menjadi remaja dan orang dewasa delinkuen psikopatik – itu biasanya
berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, sadis,
diliputi banyak perkelahian antar anggota keluarga, berdisiplin keras-kejam
tetapi tidak konsisten, dan yang selalu menyia-nyiakan anak-anaknya. Dalam
lingkungan sedemikian anak-anak tidak pernah merasakan kehangatan, kasih
sayang. Sebagai akibatnya, anak-anak tadi untuk selama-lamanya tidak mampu menumbuhkan kapasitas afeksi.
Kehidupan perasaannya menjadi tumpul atau mati sama sekali, sehingga mereka
tidak mungkin bisa menjalin relasi emosional serta personal yang akrab dan baik
dengan orang-orang lain.
3. AYAH IBU YANG
ABNORMAL DAN DAMPAK NEGATIFNYA.
Pola tingkha laku ayah-ibu (atau salah seorang
anggota keluarga) itu mudah menular kepada segenap anggota keluarga. Karena itu
kebiasaan, cara hidup, cara berfikir, dan filsafat hidup keluarga itu besar
sekali pengaruhnya dalam membentuk perilaku dan sikap setiap anggota keluarga.
Maka kualitas rumah tangga dengan pola kehidupannya
itu jelas memberikan stempel-pembentuk pada kepribadian anak-anak. Demikian
pula semua jenis konflik familial dan
ketegangan/krisis keluarga pada umunya mengakibatkan bentuk ketidakimbangan
dalam kehidupan psikis anak-anak, serta memunculkan macam-macam gangguan mental.
Selanjutnya, pola
keluarga yang patalogis juga membuahkan macam-macam masalah psikologis,
serta konflik terbuka dan tertutup pada pribadi anak-anaknya, dan jelas menjadi
penyebab utama timbulnya kasus kejahatan remaja. Dengan begitu kericuhan batin
dan penyimpangan tingkah laku anak-anak itu merupakan pencerminan dari gaya
hidup yang typis dari satu keluarga yang “SAKIT” secara sosial dan tengah
berantakan.
Maka situasi dan kondisi lingkungan awal kehidupan
anak, yaitu KELUARGA (orang tua dan kerabat dekat), jelas mempengaruhi
pembentukan karakter, kebiasaan dan sikap hidup anak-anaknya. Dengan begitu,
kualitas delinkuensi atau keseriusan penyakit-penyakit mental/jiwa yang
disandang oleh anak-anak dan para remaja itu merupakan produk langsung dari kebiasaan keluarga yang buruk.
Sebagai akibat dari kebiasaan keluarga yang buruk
tadi, anak-anak lalu menolak norma dan konvensi pergaulan hidup yang
umum/normal, dan sebaliknya lalu mengembangkan sikap pelarian diri yang tidak
normal yaitu menjadi sakit secara psikis (neorotis, psikotis, psikopatis), atau
mengembangkan pola-pola kriminal.
Struktur keluarga anak-anak bermasalah – neorotis.
Psikotis, psikopatis, kriminil, immoril, dan lain-lain – pada umumnya
menunjukan kelemahan atau cacat dari pihak IBU, antara lain sebagai berikut:
1) Ibu tersebut tidak menyadari fungsi kewanitaan
dan keibuannya.
2) Kehidupan perasaan ibu-ibu tadi tidak mantap,
labil, tidak konsisten.
3) Ibu-ibu yang sering melakukan perbuatan kriminal,
dan atau melakukan tindak asusila menjadi WTS.
4) Ibu-ibu yang neorotik dan menderita penyimpangan
psikis lainnya.
Selanjutnya beberapa cacat di pihak AYAH yang
mengakibatkan anak-anaknya menjadi delinkuen dan atau menderita gangguan
mental, dapat kita tuliskan di bawah ini:
1) Ayah-ayah yang menolak, meremehkan, memperhina
anak-anaknya terutama anak laki-laki.
2) Ayah-ayah yang kejam, sewenang-wenang, bersikap
sadis terhadap anak-anaknya.
3) Mereka yang pada umumnya alkoholik dan egositis,
serta mempunyai “prestasi” kriminalitas.
4) Ayah-ayah yang menderita satu atau beberapa
gangguan jiwa atau defek mental, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi
keayahannya.
5) Ayah-ayah yang suka berpoligami, berulang kali
kawin-cerai, suka main perempuan, pada umunya mengakibatkan pecahnya struktur
keluarga, di samping membuat anak-anak – terutama anak laki-lakinya – menjadi
sangat agresif, kriminil, atau terganggu mentalnya.
4. PERANAN
KELUARGA DALAM MEMUPUK KESEHATAN MENTAL.
Dapat kita pahami sekarang, bahwa faktor sosial
paling utama yang memberikan pengaruh predisposisional baik atau buruk ialah
KELUARGA. Selanjutnya, keluarga yang memberikan pengaruh predisposisional psikotis (bisa berkembang menjadi gila) kepada
anak-anak, para remaja dan orang-orang muda, memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a) Keluarga dengan ayah-ibu yang tidak mampu
berfungsi sebagai pendidik, yang defisien sebagai pendidik. Anak-anak akan
terganggu kondisi kejiwaannya dan tidak hygienis mentalnya, disebabkan oleh
banyaknya kekisruhan dan krisis-krisis yang dialami oleh orang tua. Karena itu
anak-anak tadi tidak bisa menjadi dewasa secara psikis, dan tidak bisa mandiri
dalam kedewasaannya.
b) Tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psikososial. Orang tua tidak
sanggup mengintegrasikan anak-anak dalam kebutuhan keluarga. Masing-masing
bercerai berai. Anak-anak tidak bisa menyalurkan implus-implus kekanakannya
lewat kenal-penyalur yang wajar, atau menurut jalan-jalan formal yang susila
serta penuh kasih-sayang. Keluarga juga tidak mampu memberikan peranan sosial
dan status sosial kepada anak-anak, sehingga hal ini memusnahkan martabat dan
harga-diri anak, mereka merasa sangat kecewa atau putus asa.
Karena itu defisiensi/kerusakan dalam struktur
keluarga selalu akan memprodusir banyak gangguan psikis pada anak-anak yaitu
berupa tidak adanya integrasi dari fungsi-fungsi psikis dan kemunculan
disintegrasi paa ego-fungsi anak/orang muda, yang pada akhirnya menjadi
neorotik dan psikotik.
Di bawah ini dituliskan pula bentuk keluarga yang
biasanya memprodusir anak-anak yang
mentalnya sakit atau neurotik (terganggu syarafnya) yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Keluarga yang menuntut kepatuhan total anak
Keluarga amau menerima dan menyayang anak, asal anak
tunduk mutlak pada perintah-perintah orang tua, dan menjauhi larangan-larangan
tertentu. Karena ada larangan dan tekanan-tekanan orang tua, anak mengembangkan
mekanisme pelarian diri guna mengalahkan implus-implus dan keinginan sendiri.
Oleh kondisi tersebut di atas, lama-kelamaan jiwa
anak menjadi terganggu dan sakit atau anak menjadi neurotik.
2) Dominasi dan ke kuasaan mutlak serta otoriter
orang tua menimbulkan agresi pada diri anak.
Karena dominasi yang dipaksa-paksakan, anak tidak
pernah mampu menemukan jalan hidupnya sendiri. Karena itu, gangguan-gangguan
psikis pada diri anak-anak pada intinya merupakan perpanjangan dari
gangguan-gangguan psikis, ilusi-ilusi, delusi-delusi an simptom patalogis orang
tuanya.
Maka pengaruh-pengaruh orang tua yang psikotis
sifatnya, akan membuat anak-anaknya menjadi gila. Dan pengaruh orang tua yang
neurotis akan membuat anak-anak menjadi neurotis pula.
3) Pengaruh ayah yang bertentangan dengan pengaruh
ibu
Khususnya bila mereka berbeda pendirian, prinsip,
dan pandangan hidup, juga berbeda jalan hidup yang ditempuh. Bagi anak,
menganut prinsip salah seorang dari kedua orang tuanya, berarti menentang pihak
lainnya. Dia merasa tidak pasti dan tidak aman dalam lingkungan keluarganya, di
samping tidak mampu mengembangkan reality-testingnya
(karena berfikir tidak logis dan selalu memalsukan realitas lingkungan). Karena
itu anak menjadi semakin neurotik
4) Pola hidup orang tua yang berantakan
Jika orang tua tidak konstan dan tidak stabil dalam
emosi, fikiran, kemauan dan tingkah lakunya apabila ayah dan ibu berbeda ideal,
simpati dan antipatinya, maka pada diri anak-anak pasti akan berlangsung proses
identifikasi yang menjurus pada KETERBELAHAN. Munculah pribadi-pribadi terbelah
(splitted personality, multiple personality) yang neurotik sifatnya.
Ringkasannya, keluarga yang memberikan
pengaruh-pengaruh buruk dan membuat anak-anaknya menjadi “gila” (memberi
pengaruh psikotik) itu jelas tidak melatih anak-anak belajar melakukan adaptasi
di tengah masyarakat, dan tidak mengajar anak mengembangkan fungsi-egonya. Ini
bukan berarti bahwa orang tua atau keluarga yang bersangkutan memang dengan
sengaja melakukan semua perbuatan itu. Sebab sebenarnyalah, bahwa mereka itu
sendiri adalah neurotik atau psikotik diluar pengetahuan atau diluar kesadaran
mereka.
Maka perkembangan
jiwa yang sehat itu hanya bisa berlansung apabila keluarga bisa menyajikan
kondisi sebagai berikut:
1) Keluarga bisa menuntun anak untuk
bertanggungjawab dan belajar menemukan jalan hidupnya sendiri.
2) Orang tua bisa bersikap toleran terhadap
implus-implus dan emosi-emosi anak-anaknya, dan bisa memberikan bimbingan
penyalurannya dengan cara yang sehat.
3) Adanya identifikasi anak yang sehat terhadap
orang tua, guna memperkuat kepribadian anak.
4) Orang tua mampu membimbing anak menentukan sikap
sendiri, membuat rencana hidup yang realitas, dan memilih tujuan finalnya
sendiri.
5) Orang tua memberikan contoh sikap hidup dan
perilaku yang baik. Berani menghadapi semua kesulitan dan tantangan dengan
tekad yang besar, dan menyingkiru mekanisme pelarian diri sert pembelaan diri
yang negatif (yang tidak sehat).
Selanjutnya orang-orang dewasa yang:
1) Semasa kanak-kanaknya tidak pernah belajar
mengendalikan dan menguasai implus serta emosi-emosinya dengan baik, dan
menyalurkannya dengan cara yang wajar.
2) Mereka yang tidak mampu mengembangkan reality
testing
3) Mereka yang tidak mempunyai identitas sendiri dan
selalu terombang-ambing oleh macam-macam keraguan
4) Mereka yang tidak memiliki kepribadian yang
terintegrasi dengan baik, orang-orang sedemikian tadi akan dengan mudah
mengalami proses gangguan-gangguan mental oleh cobaan-cobaan hidup yang
biasa-biasa saja.
Mereka ini mudah menjadi rapuh, gampang mengalami
kepatahan mental, dan cepat menjadi neurotik. Sebabnya ialah: lemahnya
fungsi-Ego mereka.
Pada akhirnya, semasa perkembangan dan dalam usaha
menegakan posisi diri (di tengah masyarakat luas), orang pasti akan terhindar
dari kepedihan, duka, sakit, dan trauma-trauma psikis lainnya. Maka hal yang
penting bagi kita semua ialah orang harus berani dan tabah memikul semua cobaan
hidup.
Anak muda yang tengah tumbuh berkembang itu akan
pernah mencapai taraf kedewasaan, tanpa menemui rintangan dan kesulitan. Maka
salah satu sukses dalam perjuangan individu menuju pada kedewasaan dan
kematangan pribadi ialah:
- Kemampuan untuk dengan berani dan tabah
- Memikul duka-derita guna mencapai tujuan hidup
- Dalam kondisi jiwa dan raga yang sehat
DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini. 2000. Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar