Rabu, 25 Maret 2015

Kesehatan Mental Dalam Lingkungan Keluarga

MATERI X BAB XII
KESEHATAN MENTAL DALAM LINGKUNGAN KELUARGA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Mental
Dosen Pengampu: Siti Utari, Dra., M.Kes


Disusun oleh kelompok X :
Kelas : BK A-3 / 2011

1.              Imam Fahli                            (115000103)
2.              Iltizamah                                (115000116)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
2015


KATA PENGANTAR

Kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Sehingga makalah ini telah dapat kami susun dalam rangka mengikuti mata kuliah “Kesehatan Mental”.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, nabi yang telah diutus untuk membawa rahmat kasih sayang bagi semesta alam dan sebagai penerang jalan manusia dari alam jahiliyah menuju alam yang diterangi oleh ilmu pengetahuan.
Kelompok kami menyadari sepenuhnya, tanpa bantuan dan partisipasi dari semua pihak, baik moril maupun materil, kelompok ini tidak mungkin dapat menyelesaikan dengan baik. Karena itu, sudah sepatutnya kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu “Siti Utari, Dra., M.Kes”. Yang telah membimbing kami.
Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Dan dengan segala kerendahan hati kami mengharap adanya kritik dan saran supaya menjadikan kami lebih instropeksi diri lagi dan supaya kedepan kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

Surabaya,   Maret 2015


Penyusun


BAB XII
KESEHATAN MENTAL DALAM LINGKUNGAN KELUARGA

1. Pengaruh kebiasaan, sikap hidup, dan filsafat hidup keluarga.
2. Struktur masyarakat kaya miskin dan ketidaksehatan mental.
3. Ayah ibu yang abnormal dan dampak negatifnya.
4. Peranan keluarga dalam memupuk kesehatan mental.


PENDAHULUAN
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fundasi primer bagi perkembangan anak, juga memberikan pengaruh yang menentukan bagi pembentukan watak dan kepribadian anak, yaitu memberikan stempel yang tidak bisa dihapuskan bagi kepribadian anak. Maka baik-buruknya keluarga ini memberikan dampak yang positif atau negatif pada pertumbuhan anak menuju kepada kedewasaannya.

1. PENGARUH KEBIASAAN, SIKAP HIDUP, DAN FILSAFAT HIDUP KELUARGA.
Pola tingkah laku, fikiran, dan sugesti ayah ibu dapat mencetak pola yang hampir sama pada anggota-anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu tradisi, kebiasaan sehari-hari, sikap hidup, cara berfikir, dan filsafat hidup keluarga itu sangat besar sekali pengaruhnya dalam proses membentuk tingkah laku dan sikap anggota keluarga, terutama anak-anak. Sebab tingkah laku orang tua itu mudah sekali menular kepada anak-anak puber dan adolesens yang jiwanya belum stabil, dan tengah mengalami banyak gejolak batin.
Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga, jelas memainkan peranan penting sekali dalam membentuk kepribadian anak menuju pada keseimbangan batin dan kesehatan mental atau justru membuat mental anak-anak yang masih muda in jadi tidak waras.
Sebabnya ialah antara lain sebagai berikut:
1) Karena ayah dan ibu masing-masinng terlalu pusing mengurusi permasalahan dan konflik-konflik sendiri yang berlarut-larut, maka anak-anak kurang terurus, tidak mendapatkan perhatian (pengabaian edukatif).
2) Kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis anak-anak menjadi tidak terpenuhi. Mereka menjadi sangat kecewa dan merasa diabaikan (ada pengabaian psikofisik).
3) Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan bagi hidup susila/etis, tidak mengenal tanggung jawab dan disiplin (pengabaian moril).
Sebagai akibat dari ketiga jenis pengabaian tersebut diatas, anak sering menjadi risau, bingung, merasa tersudut atau ditinggalkan. Di kemudian hari anak-anak ini mencari kompensasi bagi kerisauan hatinya itu di luar lingkungan keluarga. Lalu masuk satu gang immoril atau kumpulan anak-anak kriminil, dan menderita macam-macam gangguan mental.
Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih-sayang dari orang tua itu selalu merasa tidak aman, dan merasa kehilangan tempat berpijak atau tempat berlindung. Di kemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensatoris berbentuk dendam dan sikap bermusuh terhadap dunia luar. Anak-anak ini mulai “menghilang” dari rumah, lebih suka bergentayangan di luar lingkungan keluarga sendiri.
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sedikit sekali atau tanpa mendapatkan supervisi/pengawasan dan latihan disiplin yang teratur, jelas tidak akan sanggup menginternalisasikan dalam pribadi sendiri norma-norma hidup moral dan susila. Bahkan banyak dari mereka menjadi kebal terhadap nilai kesusilaan (jadi a-susila atau immoril), sebaliknya mereka menjadi lebih peka terhadap pengaruh-pengaruh jahat dari luar. Sehingga untuk selama-lamanya anak-anak muda dan orang dewasa macam itu tidak akan pernah mampu mengembangkan disiplin diri dan pengendalian diri.

2. STRUKTUR MASYARAKAT KAYA MISKIN DAN KETIDAKSEHATAN MENTAL.
Di kota-kota besar terdapat perbedaan distribusi ekonomis dan distribusi ekologis dari orang-orang yang besar dari klas-klas sosial yang berbeda-beda. Secara otomatis dalam masyarakat tersebut terdapat banyak kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin. Tidak semua kelompok sosial dalam situasi sedemikian mendapatkan kesempatan yang sama untuk menapak jalan masuk menuju ke arah kekuasaan-kekayaan dan privilige-privilige ke enakan hidup sehari-hari.
Anak-anak yang neurotik (sering kali juga delinkuen dan neurotik sekaligus) banyak yang berasal dari keluarga klas menengah dengan tingkat ekonomi menengah dan tinggi , mereka ada di tengah lingkungan familial yang konvensional dan cukup baik secara sosial-ekonomis. Dalam suasana keluarga yang makmur dan sejahtera itu biasanya mereka hidup bermanja-manja dan bersantai-santai. Namun pada umunya keluarga mereka mengalami konflik-konflik hebat, juga dalam keadaan krisis dan frustasi berat. Oleh kondisi keluarga yang berantakan itu, anak-anak mudanya ada yang menggunakan obat-obat peransang dan minum-minuman keras. Sebabnya adalah sebagai berikut:
Pertama, kebiasaan tersebut dipakai untuk “menghilangkan kejemuan dan kejenuhan” dalam iklim sejahtera yang serba kosong yaitu hampa secara jiwani.
Kedua, untuk melupakan dan menghilangkan macam-macam konflik batin sendiri.
Ketiga, untuk memberikan kegairahan serta “keberanian hidup” yang semu.
Kebiasaan-kebiasaan buruk tadi di samping memunculkan ketidaksehatan mental, pasti juga memunculkan kebiasaan-kebiasaan delinkuen. Jadi mereka itu delinkuen sekaligus juga neorotik.
Tingkah laku para remaja yang neurotik dan delinkuen itu jelas merupakan ekspresi dari konflik-konflik batin sendiri yang belum terselesaikan. Maka perilaku tersebut dijadikan alat pelepas bagi rasa-rasa ketakutan, kecemasan, kekecewaan. Terlebih-lebih oleh mereka yang memiliki ego yang lemah karena perubahan tingkah laku mereka itu berlangsung atas dasar konflik-konflik jiwani yang serius atau mendalam sekali, maka pada umumnya mereka akan terus mengembangkan tingkah laku yang delinkuen-neurotik itu sampai usia dewasa dan usia tua.
Selanjutnya, anak-anak psikopatik – yang kemudian hari berkembang menjadi remaja dan orang dewasa delinkuen psikopatik – itu biasanya berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, sadis, diliputi banyak perkelahian antar anggota keluarga, berdisiplin keras-kejam tetapi tidak konsisten, dan yang selalu menyia-nyiakan anak-anaknya. Dalam lingkungan sedemikian anak-anak tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang. Sebagai akibatnya, anak-anak tadi untuk selama-lamanya tidak mampu menumbuhkan kapasitas afeksi. Kehidupan perasaannya menjadi tumpul atau mati sama sekali, sehingga mereka tidak mungkin bisa menjalin relasi emosional serta personal yang akrab dan baik dengan orang-orang lain.

3. AYAH IBU YANG ABNORMAL DAN DAMPAK NEGATIFNYA.
Pola tingkha laku ayah-ibu (atau salah seorang anggota keluarga) itu mudah menular kepada segenap anggota keluarga. Karena itu kebiasaan, cara hidup, cara berfikir, dan filsafat hidup keluarga itu besar sekali pengaruhnya dalam membentuk perilaku dan sikap setiap anggota keluarga.
Maka kualitas rumah tangga dengan pola kehidupannya itu jelas memberikan stempel-pembentuk pada kepribadian anak-anak. Demikian pula semua jenis konflik familial dan ketegangan/krisis keluarga pada umunya mengakibatkan bentuk ketidakimbangan dalam kehidupan psikis anak-anak, serta memunculkan macam-macam gangguan mental.
Selanjutnya, pola keluarga yang patalogis juga membuahkan macam-macam masalah psikologis, serta konflik terbuka dan tertutup pada pribadi anak-anaknya, dan jelas menjadi penyebab utama timbulnya kasus kejahatan remaja. Dengan begitu kericuhan batin dan penyimpangan tingkah laku anak-anak itu merupakan pencerminan dari gaya hidup yang typis dari satu keluarga yang “SAKIT” secara sosial dan tengah berantakan.
Maka situasi dan kondisi lingkungan awal kehidupan anak, yaitu KELUARGA (orang tua dan kerabat dekat), jelas mempengaruhi pembentukan karakter, kebiasaan dan sikap hidup anak-anaknya. Dengan begitu, kualitas delinkuensi atau keseriusan penyakit-penyakit mental/jiwa yang disandang oleh anak-anak dan para remaja itu merupakan produk langsung dari kebiasaan keluarga yang buruk.
Sebagai akibat dari kebiasaan keluarga yang buruk tadi, anak-anak lalu menolak norma dan konvensi pergaulan hidup yang umum/normal, dan sebaliknya lalu mengembangkan sikap pelarian diri yang tidak normal yaitu menjadi sakit secara psikis (neorotis, psikotis, psikopatis), atau mengembangkan pola-pola kriminal.
Struktur keluarga anak-anak bermasalah – neorotis. Psikotis, psikopatis, kriminil, immoril, dan lain-lain – pada umumnya menunjukan kelemahan atau cacat dari pihak IBU, antara lain sebagai berikut:
1) Ibu tersebut tidak menyadari fungsi kewanitaan dan keibuannya.
2) Kehidupan perasaan ibu-ibu tadi tidak mantap, labil, tidak konsisten.
3) Ibu-ibu yang sering melakukan perbuatan kriminal, dan atau melakukan tindak asusila menjadi WTS.
4) Ibu-ibu yang neorotik dan menderita penyimpangan psikis lainnya.
Selanjutnya beberapa cacat di pihak AYAH yang mengakibatkan anak-anaknya menjadi delinkuen dan atau menderita gangguan mental, dapat kita tuliskan di bawah ini:
1) Ayah-ayah yang menolak, meremehkan, memperhina anak-anaknya terutama anak laki-laki.
2) Ayah-ayah yang kejam, sewenang-wenang, bersikap sadis terhadap anak-anaknya.
3) Mereka yang pada umumnya alkoholik dan egositis, serta mempunyai “prestasi” kriminalitas.
4) Ayah-ayah yang menderita satu atau beberapa gangguan jiwa atau defek mental, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi keayahannya.
5) Ayah-ayah yang suka berpoligami, berulang kali kawin-cerai, suka main perempuan, pada umunya mengakibatkan pecahnya struktur keluarga, di samping membuat anak-anak – terutama anak laki-lakinya – menjadi sangat agresif, kriminil, atau terganggu mentalnya.

4. PERANAN KELUARGA DALAM MEMUPUK KESEHATAN MENTAL.
Dapat kita pahami sekarang, bahwa faktor sosial paling utama yang memberikan pengaruh predisposisional baik atau buruk ialah KELUARGA. Selanjutnya, keluarga yang memberikan pengaruh predisposisional psikotis (bisa berkembang menjadi gila) kepada anak-anak, para remaja dan orang-orang muda, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Keluarga dengan ayah-ibu yang tidak mampu berfungsi sebagai pendidik, yang defisien sebagai pendidik. Anak-anak akan terganggu kondisi kejiwaannya dan tidak hygienis mentalnya, disebabkan oleh banyaknya kekisruhan dan krisis-krisis yang dialami oleh orang tua. Karena itu anak-anak tadi tidak bisa menjadi dewasa secara psikis, dan tidak bisa mandiri dalam kedewasaannya.
b) Tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psikososial. Orang tua tidak sanggup mengintegrasikan anak-anak dalam kebutuhan keluarga. Masing-masing bercerai berai. Anak-anak tidak bisa menyalurkan implus-implus kekanakannya lewat kenal-penyalur yang wajar, atau menurut jalan-jalan formal yang susila serta penuh kasih-sayang. Keluarga juga tidak mampu memberikan peranan sosial dan status sosial kepada anak-anak, sehingga hal ini memusnahkan martabat dan harga-diri anak, mereka merasa sangat kecewa atau putus asa.
Karena itu defisiensi/kerusakan dalam struktur keluarga selalu akan memprodusir banyak gangguan psikis pada anak-anak yaitu berupa tidak adanya integrasi dari fungsi-fungsi psikis dan kemunculan disintegrasi paa ego-fungsi anak/orang muda, yang pada akhirnya menjadi neorotik dan psikotik.
Di bawah ini dituliskan pula bentuk keluarga yang biasanya memprodusir anak-anak yang mentalnya sakit atau neurotik (terganggu syarafnya) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Keluarga yang menuntut kepatuhan total anak
Keluarga amau menerima dan menyayang anak, asal anak tunduk mutlak pada perintah-perintah orang tua, dan menjauhi larangan-larangan tertentu. Karena ada larangan dan tekanan-tekanan orang tua, anak mengembangkan mekanisme pelarian diri guna mengalahkan implus-implus dan keinginan sendiri.
Oleh kondisi tersebut di atas, lama-kelamaan jiwa anak menjadi terganggu dan sakit atau anak menjadi neurotik.
2) Dominasi dan ke kuasaan mutlak serta otoriter orang tua menimbulkan agresi pada diri anak.
Karena dominasi yang dipaksa-paksakan, anak tidak pernah mampu menemukan jalan hidupnya sendiri. Karena itu, gangguan-gangguan psikis pada diri anak-anak pada intinya merupakan perpanjangan dari gangguan-gangguan psikis, ilusi-ilusi, delusi-delusi an simptom patalogis orang tuanya.
Maka pengaruh-pengaruh orang tua yang psikotis sifatnya, akan membuat anak-anaknya menjadi gila. Dan pengaruh orang tua yang neurotis akan membuat anak-anak menjadi neurotis pula.
3) Pengaruh ayah yang bertentangan dengan pengaruh ibu
Khususnya bila mereka berbeda pendirian, prinsip, dan pandangan hidup, juga berbeda jalan hidup yang ditempuh. Bagi anak, menganut prinsip salah seorang dari kedua orang tuanya, berarti menentang pihak lainnya. Dia merasa tidak pasti dan tidak aman dalam lingkungan keluarganya, di samping tidak mampu mengembangkan reality-testingnya (karena berfikir tidak logis dan selalu memalsukan realitas lingkungan). Karena itu anak menjadi semakin neurotik
4) Pola hidup orang tua yang berantakan
Jika orang tua tidak konstan dan tidak stabil dalam emosi, fikiran, kemauan dan tingkah lakunya apabila ayah dan ibu berbeda ideal, simpati dan antipatinya, maka pada diri anak-anak pasti akan berlangsung proses identifikasi yang menjurus pada KETERBELAHAN. Munculah pribadi-pribadi terbelah (splitted personality, multiple personality) yang neurotik sifatnya.
Ringkasannya, keluarga yang memberikan pengaruh-pengaruh buruk dan membuat anak-anaknya menjadi “gila” (memberi pengaruh psikotik) itu jelas tidak melatih anak-anak belajar melakukan adaptasi di tengah masyarakat, dan tidak mengajar anak mengembangkan fungsi-egonya. Ini bukan berarti bahwa orang tua atau keluarga yang bersangkutan memang dengan sengaja melakukan semua perbuatan itu. Sebab sebenarnyalah, bahwa mereka itu sendiri adalah neurotik atau psikotik diluar pengetahuan atau diluar kesadaran mereka.
Maka perkembangan jiwa yang sehat itu hanya bisa berlansung apabila keluarga bisa menyajikan kondisi sebagai berikut:
1) Keluarga bisa menuntun anak untuk bertanggungjawab dan belajar menemukan jalan hidupnya sendiri.
2) Orang tua bisa bersikap toleran terhadap implus-implus dan emosi-emosi anak-anaknya, dan bisa memberikan bimbingan penyalurannya dengan cara yang sehat.
3) Adanya identifikasi anak yang sehat terhadap orang tua, guna memperkuat kepribadian anak.
4) Orang tua mampu membimbing anak menentukan sikap sendiri, membuat rencana hidup yang realitas, dan memilih tujuan finalnya sendiri.
5) Orang tua memberikan contoh sikap hidup dan perilaku yang baik. Berani menghadapi semua kesulitan dan tantangan dengan tekad yang besar, dan menyingkiru mekanisme pelarian diri sert pembelaan diri yang negatif (yang tidak sehat).
Selanjutnya orang-orang dewasa yang:
1) Semasa kanak-kanaknya tidak pernah belajar mengendalikan dan menguasai implus serta emosi-emosinya dengan baik, dan menyalurkannya dengan cara yang wajar.
2) Mereka yang tidak mampu mengembangkan reality testing
3) Mereka yang tidak mempunyai identitas sendiri dan selalu terombang-ambing oleh macam-macam keraguan
4) Mereka yang tidak memiliki kepribadian yang terintegrasi dengan baik, orang-orang sedemikian tadi akan dengan mudah mengalami proses gangguan-gangguan mental oleh cobaan-cobaan hidup yang biasa-biasa saja.
Mereka ini mudah menjadi rapuh, gampang mengalami kepatahan mental, dan cepat menjadi neurotik. Sebabnya ialah: lemahnya fungsi-Ego mereka.
Pada akhirnya, semasa perkembangan dan dalam usaha menegakan posisi diri (di tengah masyarakat luas), orang pasti akan terhindar dari kepedihan, duka, sakit, dan trauma-trauma psikis lainnya. Maka hal yang penting bagi kita semua ialah orang harus berani dan tabah memikul semua cobaan hidup.
Anak muda yang tengah tumbuh berkembang itu akan pernah mencapai taraf kedewasaan, tanpa menemui rintangan dan kesulitan. Maka salah satu sukses dalam perjuangan individu menuju pada kedewasaan dan kematangan pribadi ialah:
- Kemampuan untuk dengan berani dan tabah
- Memikul duka-derita guna mencapai tujuan hidup
- Dalam kondisi jiwa dan raga yang sehat

DAFTAR PUSTAKA


Kartono, Kartini. 2000. Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar