Minggu, 22 Maret 2015

PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING

1. Cari dan rumuskan sejarah perkembangn bimbingan dan konseling di indonesia?
Sejarah kelahiran layanan bimbingan dan konseling di lingkungan pendidikan di tanah air dapat dikatakan tergolong unik. Terkesan oleh layanan bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah yang diamati oleh para pejabat pendidikan dalam peninjauannya di Amerika Serikat sekitar tahun 1962, beberapa orang pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menginstruksikan dibentuknya layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah menengah sekembalinya mereka di tanah air. Kriteria penentapan konselor ketika itu tidak jelas dan ragam tugasnyapun sangat lebar, mulai dari berperan semacam “polisi sekolah” sampai dengan mengkonversi hasil ujian untuk seluruh siswa di suatu sekolah menjadi skor standar.
Pada awal dekade 1960-an, LPTK-LPTK mendirikan jurusan untuk mewadahi tenaga akademik yang akan membina program studi yang menyiapkan konselor yang dinamakan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan, dengan program studi yang diselenggarakan pada 2 jenjang yaitu jenjang Sarjana Muda dengan masa belajar 3 tahun, yang bisa diteruskan ke jenjang Sarjana dengan masa belajar 2 tahun setelah Sarjana Muda. Program studi jenjang Sarjana Muda dan Sarjana dengan masa belajar 5 tahun inilah yang kemudian pada akhir dekade 1970-an dilebur menjadi program S-1 dengan masa belajar 4 tahun, tidak berbeda, dari segi masa belajarnya itu, dari program bakauloreat di negara lain, meskipun ada perbedaan tajam dari sisi sosok kurikulernya. Pada dekade 1970-an itu pula mulai ada lulusan program Sarjana (lama) di bidang Bimbingan dan Konseling, selain juga ada segelintir tenaga akademik LPTK lulusan perguruan tinggi luar negeri yang kembali ke tanah air.
Kurikulum 1975 mengacarakan layanan Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu dari wilayah layanan dalam sistem persekolahan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA, yaitu pembelajaran yang didampingi layanan Manajemen dan Layanan Bimbingan dan Konseling. Pada tahun 1976, ketentuan yang serupa juga diberlakukan untuk SMK. Dalam kaitan inilah, dengan kerja sama Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, pada tahun 1976 Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk. Tindak lanjutnya memang raib ditelan oleh waktu, karena para kepala SMK kurang memberikan ruang gerak bagi alumni pelatihan Bimbingan dan Konseling tersebut untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling sekembalinya mereka ke sekolah masing-masing. Tambahan pula, dengan penetapan jurusan yang telah pasti sejak kelas I SMK, memang agak terbatas ruang gerak yang tersisa, misalnya untuk melaksanakan layanan bimbingan karier.
Untuk jenjang SD, pelayanan bimbingan dan konseling belum terwujud sesuai dengan harapan, dan belum ada konselor yang diangkat di SD, kecuali mungkin di sekolah swasta tertentu. Untuk jenjang sekolah menengah, posisi konselor diisi seadanya termasuk, ketika SPG di-phase out mulai akhir tahun 1989, sebagian dari guru-guru SPG yang tidak diintegrasikan ke lingkungan LPTK sebagai dosen Program D-II PGSD, juga ditempatkan sebagai guru pembimbing, umumnya di SMA.
Meskipun ketentuan perundang-undangan belum memberikan ruang gerak, akan tetapi karena didorong oleh keinginan kuat untuk memperkokoh profesi konselor, maka dengan dimotori oleh para pendidik konselor yang bertugas sebagai tenaga akademik di LPTK-LPTK, pada tanggal 17 Desember 1975 di Malang didirikanlah Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), yang menghimpun konselor lulusan Program Sarjana Muda dan Sarjana yang bertugas di sekolah dan para pendidik konselor yang bertugas di LPTK, di samping para konselor yang berlatar belakang bermacam-macam yang secara de facto bertugas sebagai guru pembimbing di lapangan.
Ketika ketentuan tentang Akta Mengajar diberlakukan, tidak ada ketentuan tentang “Akta Konselor”. Oleh karena itu, dicarilah jalan ke luar yang bersifat ad hoc agar konselor lulusan program studi Bimbingan dan Konseling juga bisa diangkat sebagai PNS, yaitu dengan mewajibkan mahasiswa program S-1 Bimbingan dan Konseling untuk mengambil program minor sehingga bisa mengajarkan 1 bidang studi. Dalam pada itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan peningkatan profesionalitas anggotanya antara lain dengan menerbitkan Newsletter sebagai wahana komunikasi profesional meskipun tidak mampu terbit secara teratur, di samping mengadakan pertemuan periodik berupa konvensi dan kongres. Pada tahun 2001 dalam kongres di Lampung Ikatan Pertugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Dengan diberlakukannya Kurikulum 1994, mulailah ada ruang gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh) peserta didik, meskipun hanya terealisasi pada jenjang pendidikan menengah. Dengan jumlah lulusan yang sangat terbatas sebagai dampak dari kebijakan Ditjen Dikti untuk menciutkan jumlah LPTK Penyelenggara Program S-1 Bimbingan dan Konseling mulai tahun akademik 1987/1988, maka semua sekolah menengah di tanah air juga tidak mudah untuk melaksanakan instruksi tersebut. Sesuai arahan, masing-masing sekolah menengah “mengalih tugaskan” guru-gurunya yang paling bisa dilepas (dispensable) untuk mengemban tugas menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling setelah dilatih melalui Crash Program, dan lulusannyapun disebut Guru Pembimbing. Dan pada tahun 2003 diberlakukan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebut adanya jabatan “konselor” dalam pasal 1 ayat (6), akan tetapi tidak ditemukan kelanjutannya dalam pasal-pasal berikutnya. Pasal 39 ayat (2) dalam UU nomor 20 tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pendidik pada perguruan tinggi”, meskipun tugas “melakukan pembimbingan” yang tercantum sebagai salah satu unsur dari tugas pendidik itu, jelas merujuk kepada tugas guru, sehingga tidak dapat secara sepihak ditafsirkan sebagai indikasi tugas konselor. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian Telaah Yuridis, sampai dengan diberlakukannya PP nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pun, juga belum ditemukan pengaturan tentang Konteks Tugas dan Ekspektasi Kinerja Konselor. Oleh karena itu, tiba saatnya bagi ABKIN sebagai organisasi profesi untuk mengisi kevakuman legal ini, dengan menyusun Rujukan Dasar bagi berbagai tahap dan/atau sisi penyelenggaraan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan khususnya dalam jalur pendidikan formal di tanah air, dimulai dengan penyusunan sebuah naskah akademik yang dinamakan Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Referensi : Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: 2007.

2. Cari dan rumuskan sejarah perkembangn ABKIN?
Sejak lahirnya sebagai Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) pada bulan Desember 1975 di Malang, organisasi profesi bimbingan dan konseling di Indonesia selalu berupaya mengatur diri sendiri. Berbagai upaya untuk menata profesi dan layanan bimbingan dan konseling di tanah air terus dilakukan, terakhir dengan penerbitan Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI), yang disahkan melalui surat keputusan nomor 0011 tahun 2005 pada tanggal 25 Agustus 2005 dalam rapat Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling (PB ABKIN) di Bandung. Dalam pertemuan ketua-ketua Jurusan/Program Studi Bimbingan dan Konseling LPTK-LPTK negeri se Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 10-12 Pebruari tahu 2006 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), disepakati untuk menggunakan SKKI sebagai rujukan dalam pengembangan kurikulum program studi S-1 Bimbingan dan Konseling di lembaga masing-masing.
Didorong oleh kehendak untuk melakukan penataan diri secara menyeluruh, PB ABKIN menyelenggarakan Rakernas dengan melibatkan semua komponen dalam tubuh ABKIN pada tanggal 4-7 januari 2006 di Wisma UNHJ, Rawungan Jakarta. Pada Rakernas itu, Bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi berkenan memberikan audiensi kepada segenap peserta Rakernas di Wisma UNJ mulai pukul 10.00 WIB pada tanggal 6 Januari 2006 dan memberikan arahan serta dorongan untuk dilakukannya Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Peserta Rakernas menyambut dengan sungguh-sngguh arahan dan dorongan tersebut dengan merancang 7 kegiatan, dan hasil dari kegiatan tersebut dibawa ke Konvensi Nasional ABKIN yang ke XV yang diselenggarakan pada tanggal 4-7 Juli 2007 di Palembang. Adapun ketujuh dokumen yang dimaksud adalah: (1) Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor, (2) Rambu-rambu Penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional Konselor Pra-jabatan, (3) Rambu-rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling khususnya dalam jalur Pendidikan Formal, (4) Rambu-rambu Penyelenggaraan Program Sertifikasi Konselor Dalam-jabatan, (5) Rambu-rambu Penyelengaraan Program Pendidikan Profesional Pendidik Konselor, (6) Rambu-rambu Penyetelan (fine tuning) Kemampuan Pendidik Konselor Dalam Jabatan, (7) Pedoman Penerbitan Izin Praktek bagi Konselor.
Dengan demikian, penyelesaian ketujuh dokumen ini merupakan upaya Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) untuk mengatur diri secara menyeluruh, dan walaupun upaya saat ini tidak lepas dari upaya-upaya sebelumnya, namun berbeda dari uapaya pengaturan diri sebelumnya. Ketujuh dokumen ini merupakan pengaturan diri secara sistemik. Bermula dari penataan Pendidikan Profesional Konselor yang diposisikan sebagai entry point, ketjuh dokumen yang dihasilkan itu menyediakan bingkai pikir yang terintegrasi bagi semua pihak terkait dalam menyerasikan pemikiran serta mensinergikan program-program tindakannya di masa yang akan datang, sehingga membuahkan peningkatan mutu layanan Bimbingan dan Konseling yang memandirikan khususnya, dan peningkatan mutu pendidikan khususnya pada jalur pendidikan formal, sebagamana yang menjadi kehendak bersama. Salah satu permasalahn kunci yang memerlukan penataan secepatnya adalah bahwa, dewasa ini Kompetensi Pendidik Konselor yang mengawaki Jurusan/Program studi Bimbingan dan Konseling di LPTK-LPTK di tanah air sangat beragam sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan Program S-1 Bimbingan dan Konseling yang dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) sehingga mampu menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing minimum di tingkat nasional. Selain jajaran Pendidik Konselor yang dihasilkan Program S-2 dan S-3 Bimbingan dan Konseling sebelum diberlakukannya ketentuan-ketentuan yang ditirunkan dari Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor, juga terdapat sejumlah lulusan program PPK yang telah berhasil meraih gelar profesi Konselor, namun yang kualifikasi masukannya terbuka terentang dari jenjang S-1 sampai dengan jenjang S-3 karena persyaratan kualifikasi pesertanya adalah lulusan Program S-1 Bimbingan dan Konseling.
Selain itu, yang juga jelas adalah bahwa jajaran tenaga akademik lulusan PPK yang telah meraih gelar profesi konselor itupun, juga secara kurikuler belum disiapkan untuk menguasai secara utuh Perangkat Kompetensi Profesional Penddik Konselor yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Naskah Akademik Penataan Pendidik Profesional Konselor yang telah disebutkan. Dengan kata lain, kecuali memiliki kemampuan sebagi pendidik yang membina program pembelajaran dalam Program S-1 Bimbingan dan Konseling, lulusan Program S-2 atau S-3 Bimbingan dan Konseling sebelum diberlakukannya ketentuan dalam Naskah Akademik Penataan Pendidik Profesional Konselor itu, belum dirancang untuk memiliki kemampuan untuk (1) memelihara mutu kinerja Program S-1 Bimbingan dan Konseling yang diampunya, dan (2) kemampuan untuk menyelia penyelenggaraan Program Pendidikan Profesi Konselor, sehingga belum dilengkapi dengan kemampuan untuk mengembangkan secara utuh tridharma perguruan tinggi dalam bidang Bimbingan dan Konseling, meskipun secara formal kualifikasi akademiknya sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yaitu kepemilikan ijasah akademik pada jenjang S-2 dan S-3 dalam Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam Rakernas, namun untuk menata kembali kemampuan profesional konselor di tanah air, maka juga perlu dilakukan penyetelan (fine tuning) antara kemampuan Pedidikan Konselor di tanah air dengan Standar Kompetensi Profesional Pendidikan Konselor sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor yang telah disebutkan, sebagai salah satu langkah strategi dari keseluruhan program pengaturan diri ABKIN.
Referensi : Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: 2007.

3. Jelaskan makna dari:
a. Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan keahlian dari orang yang berkecimpung dalam profesi tersebut.
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
Dari pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa profesi konseling merupakan suatu pekerjaan yang dimiliki oleh seorang yang memiliki keterampilan  dan keahlian dalam bidang konseling yang terlatih dan berpengalaman guna untuk memecahkan masalah konseli.
b. Profesional
Profesional adalah orang yang menyandang suatu jabatan atau pekerjaan yang dilakukan dengan keahlian atau keterampilan yang tinggi.
Dari pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa profesional konseling merupakan orang yang menyandang suatu profesi misalnya sebutan untuk seorang. Didalam bimbingan dan konseling yaitu konselor.
c. Profesionalisai
Profesionalisasi adalah proses atau perjalanan waktu yang membuat seseorang atau kelompok orang menjadi profesional.
Dari pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa profesionalisasi konseling merupakan menunjuk kepada proses peningktan kualifikasi maupun kemampuan para anggota suatu profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai anggota suatu profesi. Bisa diartikan dalam melakukan proses konseling itulah profesionalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar